KENAPA HIMAS BERAZASKAN ISLAM?

(Sebuah Ikhtiar Kontekstualisasi Islam dalam Pembelaan Terhadap Kaum Mustadhafien)

Oleh Rahmatul Ummah
(Generasi Pertama HIMAS, Menetap di Lampung Kepulauan Sumatera)

Pengantar

Islam sebagai azas HIMAS, memerlukan suatu bentuk penafsiran tertentu baik dalam dimensi ritual maupun sistem kehidupan. Pada perspektif tertentu mengenai Islam tersebut, dapat memberi gambaran tentang kerangka pikir gerakan, mulai dari penjelasan filosofis tentang pentingnya model gerakan dan Islam sebagai azas gerakan serta argumen-argumen yang menjelaskan tujuan, sifat-sifat identitasnya hingga argumen-argumen teknis operasionalnya.

Diharapkan upaya memberikan tafsir ini, menjadi karya intelektual kader HIMAS yang berusaha memaparkan suatu sistem penjelas mengenai pemahaman keislaman dalam berbagai dimensi kehidupan. Sebuah ikhtiar untuk memulai pembangunan paradigma gerakan dengan sebuah pergumulan intelektual yang cukup panjang dalam hal memahami kontekstualisasi ajaran dalam pergerakan Islam. Dengan begitu HIMAS memiliki sebuah tradisi intelektual untuk mempersiapkan paradigma gerakan organisasi sesuai dengan kehendak sejarah, zaman, dan masa depannya.

Arti Penting Ideologi

Ideologi, secara etimologis berarti ilmu tentang gagasan. Mula-mula tidak nampak wajah ekspansif dari kata ideologis itu, kecuali ketika diadopsi menjadi istilah-istilah ilmu sosial. Frans Magnis-Suseno mengutarakan pendapat S.L.C. Destutt de Tracy (1756-1836) yang pertama kali memasukkan istilah ideologi ke dalam khasanah ilmu-ilmu sosial bahwa ideologi adalah ilmu tentang idea-idea atau gagasan menyerap secara revolusioner dan progressif untuk mendobrak sistem-sistem yang beku dalam masyarakat.

Jika ditelusuri, sejarah perkembangan ideologi dari Karl Marx (1818-1883), Vilfredo Valeto (1848-1923), hingga gagasan kritik ideologi oleh Jurgen Habermas dan kawan-kawan dalam mazhab Frankfurt maka ideologi dapat disebut mewakili sistem nilai, moralitas, interperetasi dunia, pandangan dunia, pedoman hidup, pandangan hidup dan semacamnya. Ideologi dengan demikian memiliki kekuatan dogmatis untuk mengikat perilaku individu, sehingga terkadang berkonsekuensi fatal dengan munculnya sejumlah anggapan-anggapan sebagai sesuatu yang mengandung target-target terselubung dari kekuasaan atau kepentingan politik semata.

Dalam pendekatan ‘normatif-idealis’, setiap ideologi dari ajaran-ajaran yang memuat nilai-nilai tertentu, pastilah bukan ajaran yang statis melainkan gerak dinamis dan ekspansif. Artinya, memerlukan wadah guna menyalurkan spirit nilai yang dikandung agar teraktualisasi dalam kehidupan sosial. Perjuangan ideologis, dengan demikian adalah sah untuk tetap bergulir sesuai atau bersamaan dengan usia sejarah umat manusia. Tiap ideologi punya harapan agar kebaikan yang ditawarkannya dapat menjadi pilihan masyarakat.

Dengan demikian, ideologi sangat perting artinya bagi HIMAS dalam membawa arah dan perubahan sebuah masyarakat. Tanpa ideologi, sebuah masyarakat hanya akan menjadi bulan-bulanan dari penguasa, lokal maupun global.

Maka Islam sebagai asas HIMAS memiliki makna sebagai ideologi gerakan, pandangan hidup seluruh kader HIMAS untuk bergerak menuntaskan setiap ketidakadilan dan ketidakbenaran. Maka apapun yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam adalah musuh bersama kader HIMAS, termasuk menentang kemapanan dan perilaku status quo, dan anti perubahan.

Islam sebagai Asas (Ideologi)?

Dalam kajian Thomas F. Wall kaitan konsep worldview dan moralitas sangat jelas. Ia menyatakan: “kepercayaan kepada Tuhan adalah sangat penting dan mungkin elemen terpenting dalam pandangan hidup manapun. Pertama, jika kita percaya bahwa Tuhan itu wujud, maka sangat mungkin kita percaya bahwa di sana ada arti dan tujuan hidup. Dan jika kita konsisten kita akan percaya bahwa sumber moralitas bukanlah sekedar kesepakatan manusia, tapi kehendak Tuhan dan Tuhan adalah nilai tertinggi. Selanjutnya, kita harus percaya bahwa ilmu dapat lebih dari apa yang dapat diamati (empiris) dan di sana terdapat realitas yang lebih tinggi yakni alam supranatural. Sebaliknya jika kita tidak percaya pada Tuhan dan alam itu hanya satu, lalu apa akan kita percaya tentang arti hidup, hakekat diri kita, hidup sesudah mati, sumber standar moralitas, kebebasan dan tanggung jawab dan sebagainya.”

Prinsip ontologi dalam Islam dapat disebut juga sebagai visi metafisis tentang wujud dan realitas tertinggi yang diambil dari wahyu. Wujud Tuhan sebagai realitas tertinggi dalam Islam adalah sentral. Dalam Islam realitas alam fisik yang tampak (sensible world) dipandang sebagai realitas relatif yang berhubungan dan bergantung pada realitas metafisis absolut. Struktur ontologis yang dalam terminologi Islam dikategorikan menjadi ‘alam al-mulk dan ‘alam al- shahadah, menunjukkan bahwa pencarian ilmu dalam Islam tidak sekedar persoalan panca indra dan akal yang analitis yang bidang operasioanalnya dalam sains modern dibatasi oleh realitas alam dan pengalaman inderawi. Ia melibatkan realitas yang tertinggi, sebab hanya dalam konteks realitas inilah maka hakekat dan pentingnya realitas alam nyata ini dapat dipahami. Maka dari itu dalam sains Islam, pengetahuan pragmatis horizontal (diskriptif dan prediktif) tentang realitas alam berada di bawah pengetahuan vertikal kontemplatif dan apresiatif tentang makna kedua alam itu. Ini berarti bahwa bertambahnya ilmu tentang alam semesta membawa pada bertambahnya ilmu tentang alam trasenden dan ini adalah tujuan akhir dari ilmu dalam Islam.

Prinsip kosmologis artinya adalah visi tentang stuktur, proses dan fungsi realitas fenomenal. Dalam prinsip ini alam dilihat sebagai ciptaan yang sejalan dengan Al Qur’an yang tidak diciptakan . Sebab keduanya mempunyai sistem ayat yang integral yang memberi petunjuk kepada manusia tentang Penciptanya. Alam semesta ini adalah kitab yang tak tertulis sedangkan Al qur’an adalah kitab yang tertulis. Dalam hal ini Al Attas menyatakan bahwa “alam dunia ini terdiri dari ayat-ayat Tuhan, yang makna-makna simboliknya diilhamkan kepada manusia dan memberi kesempatan kepada manusia untuk mengamati dan melibatkan dirinya dalam mengetahui aspek realitas ini agar dapat memahami hakekatnya yang tertinggi. Karena susunan dan sistem kebendaan pada alam ciptaan adalah analog dengan susunan dan sistem kata dalam wahyu, maka benda-benda pada dunia empiris harus diperlakukan sebagai kata-kata, sebagai ayat dan simbol yang terdapat dalam jaringan konsep-konsep yang seluruhnya menggambarkan suatu kesatuan organis yang merelekflesikan al Qur’an itu sendiri.

Karena struktur ontologis dan kosmologis Islam yang sedemikian itu maka realitas dan kebenaran dimaknai berdasarkan kajian metafisika terhadap dunia yang nampak (visible world) dan yang tidak tampak (invisible world). Ini berbeda dari pandangan Barat terhadap realitas dan kebenaran yang dibentuk berdasarkan akulmulasi pandangan terhadap kehidupan kultural, tata nilai dan berbagai fenomena sosial. Meskipun, pandangan ini tersusun secara coherence, tapi sejatinya bersifat artifisal.

Pendekatan integral terhadap realitas fisik dengan realitas metafisik, antara ayat-ayat kawniyah dengan ayat-ayat qauliyah, inilah sejatinya framework epistemologi dalam Islam. Dan disinilah sejatinya pandangan hidup Islam terkait secara konseptual dengan epistemologi.

Perbedaan prinsip epistemologi menurut Prof. Naquib al-Attas adalah dalam masalah sumber ilmu pengetahuan. Islam menerima wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan tentang Realitas dan kebenaran tertinggi. Penerimaan ini, yang sudah tentu disertai pada keimanan pada Tuhan, mempengaruhi cara pandang muslim terhadap benda-benda ciptaan dan Penciptanya. Cara pandang inilah yang memberi kita asas bagi framework metafisis yang dapat menjelaskan filsafat sains sebagai sistem integral yang mengambarkan realitas dan kebenaran. Hal ini berarti dalam Islam, ilmu pengetahuan itu berasal dari Allah dan selain melalui media panca indera dan akal yang sehat, ia diperoleh dari berita yang benar dari sumber yang otoritatif dan intuisi. Dengan kata lain epistemologi dalam Islam berkaitan erat dengan struktur metafisika dasar Islam yang telah terformulasikan sejalan wahyu, hadits, akal, pengalaman, dan intuisi.

Jika sumber ilmu pengetahuan dalam Islam adalah dua jenis kitab yaitu wahyu Al Qur’an sebagai kitab tertulis dan alam semesta sebagai kitab tidak tertulis, maka pada keduanya terdapat ayat-ayat yang perlu dipahami dengan metodologi masing-masing. Al-Attas memperkenalkan suatu analogi metodologis antara bahasa wahyu dan bahasa penciptaan dengan ilmu alat yang disebut ta’wil dan tafsir. Seperti halnya kitab Al Qur’an, alam semesta ini juga mempunyai ayat-ayat yang jelas dan pasti (muhkamat) dan ada pula ayat-ayat mutasyabihat (ambigu). Untuk memahami ayat-ayat yang jelas dan pasti dipergunakan metode tafsir, sedangkan untuk memahami ayat-ayat yang ambigu digunakan metode ta’wil. Dalam pandangan Al Attas tafsir bukanlah pemahaman yang final, ia masih memerlukan ta’wil agar makna lebih umum dan lebih tinggi dapat diperoleh.

Jika metode ini diterapkan dalam memahami realitas fisik dan spiritual, maka pemahaman realitas fisik yang bersifat empiris melalui metode tafsir itu dikembangkan dengan metode pemahaman dengan menggunakan metode ta’wil. Jadi metode ta’wil adalah perluasan intensif dari tafsir dan tidak pernah berlawanan, sebab ta’wil harus didasarkan pada tafsir. Yang pasti tafsir adalah syarat bagi ta’wil, jika tafsir terhadap suatu objek itu benar maka ta’wilnya akan benar pula. Penggunaan metode ini menurut Al Attas berkaitan dengan konsep realitas dalam Islam. Realitas memiliki beberapa tingkatan dari realitas yang artinya terbukti dengan sendirinya (self evident) oleh adanya pengalaman langsung indera hingga makna-makna yang abstrak yang meningkat menjadi makna yang tidak dapat diindera kecuali dengan intuisi. Dalam hal ini Al Attas menyatakan:

“… di sana ada sesuatu yang makna sesungguhnya tidak dapat ditangkap oleh intelek; dan mereka memiliki ilmu yang dalam menerima itu semua apa adanya melalui kepercayaan yang kita sebut iman. Ini adalah pandangan yang benar; artinya di sana ada batasan-batasan dalam makna sesuatu dan tempat sesuatu itu terikat secara mendalam dengan batasan kepentingan.”

Islam mengkombinasikan antara metodologi rasionalisme dan empirisisme, tapi dengan tambahan wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan tentang sesuatu yang tidak dapat di jangkau oleh metode empiris-rasional tersebut. Jadi meskipun dalam aspek rasionalitas dan metodologi pencarian ilmu dalam Islam memiliki beberapa kesamaan dengan Barat, namun secara mendasar dibedakan oleh pandangan hidup. Oleh sebab itu metode filsafat Rasionalisme sekuler dan empirisisme filsafat dan sains modern yang merupakan produk pandangan hidup Barat tidak dapat dianggap sama dengan metode filsafat dalam Islam. Perbedaan utamanya terletak pada asumsi dasar keduanya, dan asumsi dasar itu dipengaruhi oleh konsep-konsep kunci dalam pandangan hidup masing-masing seperti misalnya konsep tentang alam, manusia, ilmu, nilai, kehidupan dan sebagainya.

Maka, menjadi sangat logis mencantumkan Islam sebagai asas HIMAS di saat ideologi-idelogi lain yang selama ini dijadikan asas memiliki keterbatasan makna dan kemampuan untuk menjelaskan hal-hal yang diluar inderawi. Padahal di sisi lain kader-kader HIMAS meyakini bahwa pembelaan mereka terhadap kaum mustadhafien, adalah dorongan iman dan ajaran suci Tuhan yang tak terjelaskan oleh ilmu pengetahuan.

Islam Sebagai Nilai Dasar Gerakan HIMAS

Islam sebagai asas HIMAS, harus dipercaya sebagai ideology. Seperti kita ketahui, ideologi dipahami sebagai cara pandang pada hidup kita masing-masing. Tapi menurut mazhab Kiri Baru, ideology adalah konsepsi pemikiran yang melahirkan tindakan yang berhadapan dengan realitas. Jadi, ideology haruslah dapat merubah realitas kehidupan yang tidak sesuai dengan harapan yang terkandung dalam ideology dimaksud. Ini adalah definisi ideology yang akan kita gunakan pada karya ini.

Tafsir asas ini adalah konsepsi tentang ke-Islaman dan realitas masyarakat kepulauan. Nilai-nilai Islam yang absolute dan universal digabungkan dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat pulau yang plural sehingga terlahirlah Nilai Dasar Gerakan HIMAS yang lebih membumi.

Islam sebagai asas dan ideologi gerakan HIMAS coba kita bingkai dengan model pembacaan, filosofis, teologis dan sosiologis.

Filosofis

Ideology dalam pengertian diatas harus memuat konsep, sikap, dan aksi agar bisa berhadapan dengan realitas. Konsep itu sendiri adalah pengetahuan yang menyebabkan tersingkapnya objek oleh subjek dengan seyakin-yakinnya tanpa keragu-raguan. Yang menjadi objek dalam pengertian konsep adalah realitas atau eksistensi, atau kita bisa sebut wujud. Pemahaman atas realitas akan melahirkan sikap, sehingga pada akhirnya akan menentukan aksi yang kita ambil sehubungan dengan realitas yang ada. Aksi, setelah terakumulasi, akan melahirkan peradaban.

Realitas sebenarnya menimbulkan problem yang akhirnya melahirkan pengetahuan yang menjawab problem tersebut. Pengetahuan-pengetahuan yang telah lahir ini kemudian terakumulasi sehingga melahirkan –isme. Karena realitas yang bisa dipecahkan adalah realitas yang inderawi (dan harus bisa dijadikan indrawi), maka sebuah pengetahuan juga harus inderawi. Hal-hal yang tidak indrawi yang selama ini kita anggap pengetahuan sebenarnya adalah konsep pengetahuan.

Realitas itu sendiri ada dua macam; realitas materi dan relitas non-materi. Realitas materi terbagi lagi menjadi dua; empiris (contoh: baju, tubuh, spidol, dll) dan non-empiris (contoh: mimpi). Realitas materi ini menempati ruang dan waktu sehingga sifatnya terbatas sehingga tidak mungkin sempurna. Yang sempurna hanyalah realitas non-materi karena tidak menempati ruang dan waktu. Karena realitas yang dipecahkan oleh pengetahuan hanyalah realitas materi maka pengetahuan pasti terbatas. Produk yang menjadi akumulasi pengetahuan (-isme) juga dengan sendirinya pasti terbatas.

Salah satu ciri penting dari sebuah –isme adalah penggunaan simbol. Orang-orang punk akan menyimbolkan dirinya dengan rambut mohawk dan atribut logam sebagai lambang perlawanan. Para pendukung sosialisme cenderung mengangkat perlawanan petani dan rakyat miskin kota kepada penguasa sebagai simbol eksistensi mereka. Kapitalisme sendiri lebih pandai dalam menyamarkan simbolnya, seperti budaya pop-lifestyle yang telah mendarah daging dalam kehidupan kita.

Pemberian simbol pada sesuatu adalah berarti memberi nilai lebih. Artinya, memberi simbol ”mohawk dan piercing” pada orang-orang yang anti-kemapanan adalah menjustifikasi bahwa pemakai gaya mohawk dan piercing adalah pasti anti-kemapanan, padahal belum berarti seperti itu. Melihat orang yang memperjuangkan orang tertindas sebagai pengusung ideologi sosialisme kadang jadi kebiasaan. Begitu juga tanpa sadar kita telah menjustifikasi orang-orang dengan jilbab besar dan baju koko sebagai ”orang yang sebenarnya Islam” sebenarnya telah menyimbolkan Islam dengan jilbab besar dan baju koko tersebut.

Memberi nilai lebih pada sesuatu yang sebenarnya tidak memiliki nilai itu adalah sesuatu yang melawan kehendak Allah, karena itu adalah pekerjaan Allah dan bukan samasekali pekerjaan kita. Dan melakukan pekerjaan Allah adalah sama saja dengan mengangkat diri sebagai Tuhan !!! bukankah itu adalah kedzaliman yang tak termaafkan? Maka keharusan pertama adalah menegasikan semua kepercayaan dan –isme selain kebenaran.

Teologis

Tuhan itu sendiri, karena sifatnya yang non-materi, selain menjadikan-Nya bebas dari ketidak-sempurnaan, juga mengakibatkan manusia menjadi susah untuk merasakan dan mengikuti keberadaan-Nya. Wahyu kemudian diberikan kepada manusia agar manusia bisa merasakan adanya Tuhan dan tidak menjadi menyimpang dari jalan yang diinginkan Tuhan.

Wahyu ini diberikan kepada manusia melalui manusia pula yang disebut Rasul. Syarat dari Rasul itu sendiri adalah sempurna dalam hal intelektual (yang menjamin mereka terbebas dari sifat lupa) dan spiritual (yang menjamin mereka terbebas dari maksiat). Kedua kesempurnaan ini bukanlah skill yang dapat dilatih, melainkan sesuatu yang given dari Tuhan. Dan oleh karena kedua kesempurnaan ini pula, maka ajaran yang dibawa oleh seorang Rasul juga sempurna secara intelektual dan spiritual. Artinya, ajaran tauhid itu adalah rasional dan bukan historis.

Rasulullah Muhammad SAW juga membawa sebuah sistem yang disebut Islam. Dalam Islam, ada sistem hukum yang terangkum dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an ini adalah kitab yang berisi kumpulan wahyu dari Allah. Tetapi, benarkah bahwa Al-Qur’an itu tak lebih dari hanya kitab saja? Logikanya, karena Rasul diutus untuk ummat manusia yang notabene adalah makhluk sosial maka Al-Qur’an itu seharusnya bersifat sosiologis. Artinya, Al-Qur’an itu berisi kumpulan sejarah, hukum, norma, dan sistem. Tapi bila difahami seperti itu, maka segala hal yang ada dalam Al-Qur’an tidak lebih dari teks sosiologis. Maka tidaklah salah bila kita akan melihat Nabi Yunus sebagai nabi yang pengecut karena tidak mau berdakwah kepada ummatnya, kita akan melihat Nabi Khidir sebagai seorang pembunuh yang sok karena menghukum atas apa yang belum terjadi. Banyak lagi kisah-kisah dalam Al-Qur’an yang bila dipahami tekstual maka akan sangat mengganggu. Jadi sebenarnya Al-Qur’an bukan sekedar teks belaka.

Al-Qur’an memuat wahyu yang notabene berdimensi spiritual, maka sudah seharusnya Al-Qur’an itu juga berdimensi spiritual. Dengan demikian seluruh teks di dalamnya tidak bisa dimaknai secara harfiah saja, karena ada makna transenden dalam kandungannya. Maka dengan sendirinya, seluruh hukum, norma, dan sistem dalam Al-Qur’an adalah juga berdimensi spiritual dan tidak dapat hanya dimaknai harfiah saja.

Diatas telah dikemukakan bahwa seluruh kandungan Al-Qur’an (sejarah, hukum, norma, maupun sistem) adalah memiliki makna transeden. Artinya, setiap kata dalam Al-Qur’an tidak dapat difahami hanya secara tekstual saja, tapi ada makna lain yang jauh lebih dalam daripada teks itu sendiri. Mari kita ambil contoh dari sistem ibadah yang diperintahkan Allah dalam Al-Qur’an. Seorang muslim diwajibkan untuk melaksanakan sholat. Syarat sahnya sholat antara lain adalah pelakunya Islam, baligh, berakal, dan suci dari hadas dan najis.

Islamnya seseorang adalah bukan dengan serta-merta, tapi melalui proses pendidikan yang panjang yang dimulai dari rumah sampai pada sekolah. Maka konsekwensi dari adanya pendidikan Islam agar semua ummat Islam dapat sholat dengan benar adalah pendidikan gratis untuk semua orang! Kemudian, agar pertumbuhan seseorang dapat sampai pada tahap baligh dan berakal, maka kebutuhan nutrisi dan gizinya harus terpenuhi dengan baik. Konsekwensi dari adanya keperluan nutrisi dan gizi untuk dapat melaksanakan sholat dengan baik adalah kepedulian pada petani dan nelayan serta pada orang-orang tertindas lainnya. Begitupun halnya dengan adanya syarat suci yang secara tidak langsung mensyaratkan adanya air untuk semua orang memberi konsekwensi perlawanan pada adanya hegemoni orang-orang kaya atas hal yang satu ini. Karena air dan tanah adalah untuk Rakyat, untuk semua rakyat !!!

Karenanya, Hukum Islam itu adalah wilayah publik, dan tidak ada satu halpun dalam Islam yang memisahkan pemeluknya dari konsekwensi kewajiban sosial. Dari contoh diatas dapat pula kita tarik kesimpulan bahwa penerapan hukum Islam secara kaaffah hanya dapat dilaksanakan bila keadilan sosial dan keadilan ekonomi telah ditegakkan. Dan oleh karena penegakan hukum Islam itu wajib bagi kita semua, maka penegakan keadilan itu juga wajib atas kita semua!

Sosiologis

Mari kita kembali kepada konsep kebenaran yang telah kita bahas pada awal diatas. Telah kita ketahui bahwa konsep kebenaran manusia disandarkan pada konsep-konsep pengetahuan yang tidak sempurna karena berdasar pada realitas materi. Agar konsep-konsep itu dapat selalu berkembang, maka konsepsi kebenaran manusia selalu di-crosscheck-kan dengan manusia lainnya melalui dialog.

Dalam hal ini, manusia memerlukan unit yang disebut masyarakat untuk mengatur hak dan kewajiban agar proses dialog ini dapat berjalan dengan baik. Maka, bermasyarakat merupakan hakekat kemanusiaan. Manusia yang tidak mau bermasyarakat tidaklah pantas disebut manusia. Dalam masyarakat itupun ada satuan yang lebih kecil lagi yang disebut organisasi. Organisasi ini merupakan bentuk paling ideal dari masyarakat karena pertukaran ide-ide didalamnya terjadi secara intens sehingga peluang untuk menghasilkan kebenaran yang lebih baik dari sebelumnya jadi lebih besar. Maka, berorganisasi pun merupakan hakikat kemanusiaan. Manusia yang tidak mau berorganisasi tidaklah pantas disebut manusia.

Telah kita ketahui bersama bahwa ada dua macam organisasi, yaitu organisasi massa dan organisasi kader. Organisasi massa terdiri atas kelompok massa dan kelompok elit. Bentuk gerakan dari organisasi massa adalah adanya mobilisasi. Untuk itu, mereka biasanya menggunakan figur dan kental dengan penggunaan mitos. Singkatnya, hubungan antara elit dan massa adalah melalui manipulasi kesadaran dengan menggunakan figur dan mitos tertentu yang dijaga.

Bentuk kedua dari organisasi ini adalah organisasi kader, yang terdiri dari kelompok yang meng-kader dan yang di-kader. Kegiatan utama dari organisasi ini adalah pengkaderan. Tujuannya adalah pembentukan sistem yang baik. Oleh karenanya, cara yang dilakukan lebih menekankan rasionalitas yang berdasar pada kritisisme. Pada tahap selanjutnya, kritisisme akan melahirkan doktrin yang akan ditaati oleh setiap kader. Organisasi jenis ini biasanya terdapat di kalangan mahasiswa. Tapi sekarang ini ada banyak organisasi yang mengklaim diri sebagai organisasi kader meskipun sebenarnya apa yang telah dilakukan belumlah cukup untuk mencirikan organisasi kader. Sebuah organisasi kader haruslah melakukan transformasi kebenaran, dimana kebenaran itu haruslah absolut dan plural. Dalam hal ini, hanya organisasi yang berdasar Islam (yang merupakan kebenaran absolut) dan menekankan pluralitas-lah yang pantas disebut organisasi kader. Saya tidak faham, apakah HIMAS layak disebut organisasi kader dengan kreteria di atas?????

Penutup

Yang dinamakan tauhid sebenarnya adalah terdiri dari ritual dan sosial yang harus dijalankan bersama-sama. Karena ritual tanpa sosial adalah kebohongan, dan sosial tanpa ritual adalah kekosongan. Untuk menegakkan kalimat Tauhid ini, maka harus ada intelektual organik, yaitu orang-orang yang punya konsep dan ideologi serta sekaligus membasis dengan orang-orang kecil. Manusia harus selalu bergerak, karena pada saat kita berhenti, maka kita sudah membunuh diri sendiri. Dan orang yang berhenti begerak, maka dia telah ”mengambil” takdir Tuhan dan menjadi sekutu-Nya.

7 komentar:

HUSAMAH IRHAM RIDHA mengatakan...

Rahmatul Ummah menulis: "Maka apapun yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam adalah musuh bersama kader HIMAS, termasuk menentang kemapanan dan perilaku status quo, dan anti perubahan".

pertanyaan saya: bukankah menentang kemapanan adalah kemapanan itu sendiri? dengan menentang kemapanan berarti kita telah menawarkan sebuah kemapanan baru.Lalu, perlukah memilah-milah(mendiskuskan, dan merumuskan sebuah kemapanan baru? adakah jaminan, kemapanan baru yang kita tawarkan merupakan "win-win solution?". inilah yang harus kita cermati.. begitu juga untuk status quo dan anti perubahan...
saudara, saya tunggu diskusi menarik ini

rahmatul ummah mengatakan...

Terimakasih atas apresiasi posistif yang saudara husamah sampaikan atas artikel saya. kadangkala pada saat kita berhadapan dengan sebuah kekuatan status quo tidak jarang kita dihadapkan pada sebuah dilema pertanyaan, apakah dengan meruntuhkan kekuasaan yang ada menjadi jaminan lahirnya kekuasaan yang lebih adil. sama dengan pertanyaan husamah, apakah dengan merobohkan kemapanan kita sedang tidak membangun kemapanan baru? saya jawab iya, setiap revolusi selalu akan dimakan anaknya sendiri, runtuhnya kemapanan akan selalu melahirkan kemapanan baru, dan kemapanan baru akan kembali diruntuhkan oleh kekuatan anti kemapanan dan begitulah seterusnya siklus perubahan itu bergerak, setiap status quo pasti akan melahirkan sebuah kekuatan perubahan anti status quo, dan gerakan anti status quo itu akan melahirkan gerakan status quo baru yang akan kembali berhadapan dengan kekuatan status quo baru. itulah dinamika (hidup yang bergerak). dan bukankah memang perubahan itu niscaya? tidak ada yang tidak berubah selain perubahan itu sendiri. pertanyaannya adalah: apakah itu adalah win-win solution? tergantung optimisme dan konsep yang kita siapkan untuk menggerakan perubahan itu sendiri. Jika perubahan itu dibangun di atas konsep instant tanpa perencanaan dia akan bernasib sama seperti reformasi yang akhirnya tak bermuara. tak jelas juntrungannya. maka dalam konsepsi perubahan sosial, saya menolak gerakan anti status quo seperti reformasi.

rahmatul ummah mengatakan...

Terimakasih atas apresiasi posistif yang saudara husamah sampaikan atas artikel saya. kadangkala pada saat kita berhadapan dengan sebuah kekuatan status quo tidak jarang kita dihadapkan pada sebuah dilema pertanyaan, apakah dengan meruntuhkan kekuasaan yang ada menjadi jaminan lahirnya kekuasaan yang lebih adil. sama dengan pertanyaan husamah, apakah dengan merobohkan kemapanan kita sedang tidak membangun kemapanan baru? saya jawab iya, setiap revolusi selalu akan dimakan anaknya sendiri, runtuhnya kemapanan akan selalu melahirkan kemapanan baru, dan kemapanan baru akan kembali diruntuhkan oleh kekuatan anti kemapanan dan begitulah seterusnya siklus perubahan itu bergerak, setiap status quo pasti akan melahirkan sebuah kekuatan perubahan anti status quo, dan gerakan anti status quo itu akan melahirkan gerakan status quo baru yang akan kembali berhadapan dengan kekuatan anti status quo baru. itulah dinamika (hidup yang bergerak). dan bukankah memang perubahan itu niscaya? tidak ada yang tidak berubah selain perubahan itu sendiri. pertanyaannya adalah: apakah itu adalah win-win solution? tergantung optimisme dan konsep yang kita siapkan untuk menggerakan perubahan itu sendiri. Jika perubahan itu dibangun di atas konsep instant tanpa perencanaan dia akan bernasib sama seperti reformasi yang akhirnya tak bermuara. tak jelas juntrungannya. maka dalam konsepsi perubahan sosial, saya menolak gerakan anti status quo seperti reformasi.

rahmatul ummah mengatakan...

Mungkin saudara husamah akan kembali bertanya, formulasi perubahan, anti kemapanan atau gerakan status quo apa yang telah ada persiapkan untuk kepulauan? karena ini adalah kerja besar dan kerja bersama, tentunya kita harus rumuskan, diskusikan, dengan duduk satu meja semua bersama stakeholder kepulauan. tentunya harus dimulai oleh kawan-kawan HIMAS. yang jelas, saya menolak gerakakn perubahan yang tidak direncanakan secara matang. dan menurut saya ada 3 problem besar yang harus diselesaikan di kepulauan kita. 1. kemiskinan, 2. pendidikan, 3. pelayanan publik. yang ketiganya saya simpulkan dalam term yang harus dicapai, "terciptanya sebuah tatanan masyarakat kepulauan yang sejahtera, berkeadilan, makmur dan diridhoi Allah SWT"

HUSAMAH IRHAM RIDHA mengatakan...

salut atas jawabannya. luar biasa. saran saya:duduk berlama-lama diskusi merumuskan kebijakan (ide/solusi) itu wajib bagi himas. baiknya juga artikel-artikel temen-2 di blog itu dipilah-pilah. karena artikel2 itu sangat kaya dan sayang jika diabaikan. itu saja..

rahmatul ummah mengatakan...

husamah yang saya cintai karena Allah, sangat susah untuk mengajak orang2 untuk peduli dan mau berdiskusi lama-lama. apalagi berkarya untuk orang lain. untuk itu alternatif yang bisa dilakukan adalah melakukan transformasi dengan cara merombak cara fikir kawan2 himas yang telah terlanjur konsumtif dan individualistik.... tapi kita harus tetap optimis..

HUSAMAH IRHAM RIDHA mengatakan...

insyaallah kawan.. tidak ada yang tidak mungkin selama kita ada niat. apapun caranya..
beberapa temen pagerungan kecil juga berencana membuat kegiatan untuk menyemarakkan bulan puasa. ada semacam lomba dan pencerahan kepada masyarakat setempat. lumayan, ada temen2 yang juga dari PK masuk UMM. jadi kompak banget...