PERAN DAN FUNGSI HIMAS

UNTUK PERUBAHAN MASYARAKAT

Oleh : Syaifuddin, SH

( Alumni HIMAS/Pemuda Muhammadiyah )

A. Mukaddimah

Sesungguhnya Islam adalah ajaran yang haq dan sempurna untuk mengatur ummat manusia sesuai dengan fitrahnya sebagai khalifah dimuka bumi. Sebagai khalifah, manusia dituntut untuk mengejawantahkan nilai-niliai ke-Tuhan-an di bumi dengan kewajiban mengabdikan diri semata-mata kepada-Nya. Meneladani Nabi Muhammad SAW dengan bingkai pengabdian kehadirat-Nya yang melahirkan konsekwensi untuk melakukan pembebasan (liberation) dari belenggu-belengu selain Tuhan. Dalam konteks ini seluruh penindasan atas nama kemanusiaan adalah “thoguts” yang harus dilawan dan inilah bentuk subtansi dari persyaksian primordial manusia terhadap Allah SWT (Syahadatain)

Dalam melaksanakan tugas ke-Khalifah-an. Manusia harus tampil untuk melakukan perubahan sesuai dengan misi yang diemban para Nabi yaitu menjadikan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Rahmat bagi seluruh alam menurut Islam adalah terbentuknya masyarakat yang menjunjung tinggi semangat persaudaraan universal (universal brotherhood), egaliter, demokrasi, berkeadilan sosial (social justice) dan berkeadaban (social civilization) serta beristiqomah melakukan perjuangan untuk membebaskan kaum tertindas (mustadh`afin) sebagai wujud dari manusia yang secara personal sadar terhadap Tuhan Yang Maha Esa (at-tqwa)

Dengan melihat realitas masyarakat Indonesia dan masyarakat kepulaun Sapeken khususnya yang masih hidup dalam marjinalisasi “anak tiri” pembangunan dan pemberdayaan masyarakat baik sektor pendidikan maupun sektor ekonomi yang menyebabkan terjadinya ketimpangan pembangaunan dan ketidak adilan yang ber imbas kepada Issu Kabupaten Kepulauan yang di prakarsai oleh masyarakat Kepulauan Sapeken-Kangeyan.

Dan tugas yang terpenting bagi HIMAS adalah; pertama, bagaimana menyikapi issu Kabupaten Kepulauan sebagai issu yang bukan hanya konsumsi para elit politik dan tokoh masyarakat, tapi bagaimana HIMAS memberikan kesadaran terhadap rekonstruksi berpikir masyarakat bahwa kabupten kepulauan adalah keharusan! dengan melihat realitas kebijakan birokrasi pemerintahan Sumenep; kedua, sebagai cendikia muda besar kemungkinan akan terjadi gesekan-gesekan dalam masyarakat dalam penerapan gagasan keilmuan yang dimiliki, dengan demikian HIMAS harus bisa melakukan perubahan terhadap pradigma berpikir masyarakat yang cendrung dependentif elit masyarakat/agama.

Karenanya ruh / spirit perjuangan untuk perubahan masyarakat kepulauan tentunya berlandaskan kepada khittah perjuangan HIMAS yang di himpun pada empat landasan pejuangan terhadap peran dan fungsuinya dalam masyarakat.

B. Landasan Peran dan Fungsi HIMAS

Manusia dalam perspektif al-qur`an sebagai khalifah fil ard yang dapat diterjemahkan sebagai Duta Tuhan untuk melaksanakana titah-titah-Nya, sebagai duta Tuhan yang di pilih karena potensi yang melekat pada mansia yaitu potensi fitrah/ketuhanan/agama/hanafiyah dan potensi keilmuan yang melebihi makhluq-mahkluq cipataa-Nya

Dalam dinamika sosio-kultural masyarakat kepulauan Sapeken, HIMAS harus mampu mengambil perannya sebagai agen perubahan dan sekaligus representatif masyarakat terdidik. Masyarakat terdidik adalah masyarakat yang mengembangkan moralitas agama, sedangkan agama (baca; Islam) adalah inspirator kaum pembaharu karena agama tidak pernah mengajarkan umatnya diam dan apriori terhadap kondisi riil masyarakat yang jauh dari martabat kemanusiaan dan jauh dari nilai-nilai ketuhanan yang diyakininya. Apa lagi zaman begitu cepat berubah seiring dengan kecanggihan berfikir manusia yang terkadang meninggalkan Tuhanya. di era millenium ini dengan inklusifitas globalisasi-industrialisasi dan semakin mengakarnya kapitalisme global yang ditandai dengan perkembangan sains dan tekhnologi, serta benturan-benturan “sekuler” terhadap agama, dalam proses laju dan dinamika zaman, manusia sudah terbuai dengan perkembangan yang dahsiat untuk menyeret manusia yang tidak komitmen terhadap ajaran-ajaran ke-Tuhan-an. Karenanya manusia yang terdidik adalah manusia yang mengerti antara yang haq dan yang bahtil, selalu mengembangkan moralitas agamanya dalam percaturan global.

Karenanya HIMAS memiliki peran dan fungsi di masyarakat yaitu; pertama, HIMAS sebagai aktor perubahan dalam masyarakat (agent of social changs); kedua, HIMAS sebagai kontrol terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, “para elit masyarakat dan para penyebar kebajikan/ agamauan” terhadap masyarakat (social control).

Untuk mengaktualkan peran dan fungsinya, HIMAS tidak lepas dari landasan-landasannya yaitu; landasan teologis, ideologis, konstitusi dan sosio-historisnya.

B.1.Landasan Teologis

Sesungguhnya ketauhidan manusia adalah fitrah “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui)[1] yang dijiwai oleh perjanjian primordial dalam pentuk pengakuan terhadap Tuhan sebagai zat pencipta “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)"[2] bentuk pengakuan tersebut sebagai penggambaran ketaklukan manusia kepada Zat Yang Maha Tinggi. kesanggupan untuk merima kontrak primordial tersebut mendapat konsekwensi logis yang harus dipertangung jawabkan pada pemberi mandat (Allah SWT) terhadap apa yang dilakukan manusia selama hidupnya.

Ideallisme inilah yang menjadi dasar perjuangan HIMAS dalam perannya sebagai aktor perubah dan sekaligus pelaku sejarah terciptanya masyarakat kepulauan yang berkeadaban dan selalu melandasi dengan semangat ketauhidan (rabbani/rabbaniyah; manusia yang memiliki semangat keTuhan-an). Sebagai “duta-duta” Tuhan di masyarakat kepulauan hendaknya HIMAS senantiasa melakukan perubahan yang berati, terarah untuk menyebarkan nilai-nilai ke-Tuahan-an dan sekaligus menginterpretasi realitas sesuai dengan perspektif maksud dan tujuan Tuhan (al-maqasyidu as-syar`iyyah). Namun proses materialisasi manusia menimbulkan konsekwensi baru dalam mereduksi nilai-nilai Ke-Tuhan-an, yang dalam konteks kemanusiaannya ia mengada (being) dengan kesadaran (consiosness) manusia menumukan realitas menjadi (becoming).

Dalam landasan diatas HIMAS mengambil peran dan fungsinya adalah pembebasan dari ketidak adilan yang menjiwai konsepsi perjuangan untuk melawan yang membelenggu manusia dari hal-hal yang dipertuhankan selain Allah, dalam perspektif alqu`an disebut dengan Thoguts-syirkon

Pemahaman ini akan mengarah kepada pandangan bahwa ketauhidan adalah landasan nilai-nilai transformatif sosial, nilai-nilai pembebasan terhadap penindasasan, nilai-nilai yang bersifat revolusioner (syari`ah transformatif), dan inilah yang menjadi spirit perjuangan HIMAS dan menjadikan peran dan fungsinya terhadap keberlansungan manusia di dunia dan sekaligus sebagai paradigma baru dan sistem perjuangan terhadap masyarakat kepulauan.

B.2.Landasan Ideologis

Tidak ada yang dapat diragukan bahwa Islam adalah sistem nilai, sebagai sistem nilai maka Islam dijadikan landasan nilai perjuangan untuk menjawab peresoala-persoalan yang dihadapi umat manusia yang mengarah kepada idealisme yang di cita-citakan dan idealisme inilah mereka rela berjuangan dan berkorban bagi keyakinannya. Islam sebagai keyakinan akan senantiasa mengilhami perlawanan dan pengorbanan terhadap penindasan terhadap manusia dan status quo, yang tidak berpri kemsanusiaan dan tidak berketuhanan.

Dalam sejarah perjuangan pembebasan Muhammad tampil sebagai representatif manusia yang dipilih Tuhan untuk mengaktualisasikan nilai-nilai kemanusiaan dengan keberpihakan kepada kaum tertindas (al-mustad`afiin) yang di gilas olek para elit agama atas nama Tuhan (as-shabiyah/al-musrikun) dan pemuka masyarakat (kapitalis/saudagar) atas nama kesjahteraan masyarakat

Landasan Ideologis perjungangan HIMAS merupakan cita-cita adanya transformatif nilai universal terhadap nilia-nili dasar perjuangan yaitu: persaudaraan universal (universal brotherhood), persaman didepan hukum (equality be for of law) keadilan sosial (social justice) keadailan ekonomi (economical justice) merupakan cita-cita libratif, dalam usaha mewujudkannya membutuhkan keyakinan dan keberanian sikaf dan bertanggung jawab dalam merespon dan menerapkannya dalam kehidupan sosio-kutural.

Dalam mewujudkan landasan tersebut; pertama; persaudaran universal dan persamaan, Islam menekankan kesatuan manusia yang ditegaskan dalam alqur`an ”Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”[3]

kedua; Islam sangat menekan keadilan pada setiap aspek kehidupan dan keadilan tersebut tidak akan tercapai tanpa membebaskan masyarakat yang termarjinalkan, tereksploitasi, terdzalimi, tertindas, diskriminasi, dan tindakan-tidakan rasisme-thoguhut-isme yang tidak berprikemanusiaan dan tidak berkertuhanan. ”Dan kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi)”.[4] ”Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau![5] Karenanya dalam al-qur`an mengungkapkan teori “kekeransan dan pembebasan” misalnya dalam satu ayat al-qur`an ”Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah, jika mereka berhenti (dari kekafiran), Maka Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.[6]

Ketiga, Islam sangat menekankan keadilan ekonomi, karena itu al-qur`an mengajarkan kepada umat manusia agar jangan terjadi penumpukan dan penimbunanan kekayaan, “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”[7]

Ispirator al-qur`an mengajarkan para kapitalis memberikan sebagian hartanya untuk anak yatim, janda-janda dan fakir miskin, “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, Orang-orang yang berbuat riya dan enggan (menolong dengan) barang berguna[8]

Dengan demikian landasan ideologis perjuangan HIMAS adalah ispirator qur`ani yang terinklusif kan dalam ajaran nilai-nilai Islam.

B.3.Landasan Konstitusi

Peran dan fungsi HIMAS dalam perjuangan kedepan, maka harus mempertegas posisinya dan bergainingnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara demi tanggung jawab terwujudnya msayarakat yang adil, sejahtera yang diridhoi oleh Allah SWT baldathun thoyyibatun warabbun ghafura.” masyarakat yang ideal yang menyandarkan segala aktivitasnya hanya mencari ridha Allah SWT. dalam landasan asas perjuanganya HIMAS adalah organisasi yang bersaskan kepada Nilai-Nilai Ke-Islaman. Dalam asas ini memmberikan cerminana bahwa di dalam dinamikanya, HIMAS senantiasa mengembankan tugas dan tanggung jawab dengan spirit Islam yang tidak mengenyampingkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan dalam masyarakat. Sebagai organisasi kepemudaan HIMAS yang berpusat di Sapeken bersifat independen.(baca: Tafsir Independensi HIMAS; yang sekarang masih dalam proses dan penggodokan oleh BP. HIMAS)

B.4. Landasan Sosio –Historis

Secara sosio-historis kelahiran HIMAS pada tanggal 24 Feburuari 2001 tidak terlepas dari permasalahan kebijakan lokal masyarakat kepulauan dan sebagai satu kesatuan dinamika sosio-kultural masyarakat yang termarjinalkan scara sturuktural pembangunan masyarakat kepulauan. ( “peradaban yang terisolasi”?)

Ada bebrapa hal yang melatar belakangi kelahiran HIMAS dan ini selalu menjadi landasan kehadiran dan eksistensinya yaitu; pertama, ingin mengumpulkan seluruh mahasiswa kepulauan Sapeken yang kuliah diberbagai perguruan tinggi di dalam dan Lular Negeri yang dhimpun dalam wadah perjuangan yang disepakati dengan nama HIMAS; kedua,yang penting hidup tenang dan bisa makan”); kertiga, masyarakat kepulauan Sapeken mengalami stagna dalam perjuangan pembebasan, semangat keritis masyarakat hilang yang pada akhirnya menyeret pada perampasan hak kemerdekaan dan kebebasan masyarakat disadar atau tidak (semboyan :” masyarakat kepulauan Sapeken mengalami pembodohan struktural dan ini bukan saja oleh “elit agama/tokoh masyarakat” yang menjalar pada orang tua anak atas nama kemiskinan dan pengaruh doktrinisasi bahwa setelah sarjana tidak akan mendapat-apa alias penganguran yang sama dengan orang yang tidak sekolah.

Dan inilah yang memdorong para senior HIMAS untuk membetuk dan mengubah cara pandang masyarakat yang stagnan itu. peran dan fungsi menunjukkan gerak atau kegiatan (aktifitas) dalam mewujudkan (final goal) dalam melaksanakan spesialisasi tugas tersebut, karena HIMAS sebagai organisasi mahasiswa sifat tersebut menjadi watak mahasiswa maka harus menjiwai dan dijiwa HIMAS. sebagai kaun muda, terdidik harus sadar kebaikan dan kebahagiaan masyarakat hari ini dan kemasa depan. sebagai wataknya yang kritis maka mahasiswa sebagai kekuatan moral (moral voces) yang senan tiasa melaksanakan funsi kontrol, karena HIMAS adalah kelompok yang bebas kepentingan kecuali kepentingan kebenaran dan keadilan yang obyektifitas demi kebaikan dan kemaslahatan masyarakat hari ini dan kemasa depan.

Demikianlah peran dan fungsi HIMAS yang dilandasi oleh semangat qur`ani untuk selalu diperjuangan demi terwujudnya cita-cita luhur perjuangan.



[1] (QS.Ar-Rum:30)

[2] (QS.Al-A`raf: 172)

[3].QS.Al-Hujuraat: 13)

[4] (QS. AL-Qashash:5)

[5] (QS. An-Nisa`: 75)

[6] (QS.An-Anfal: 39)

[7] (QS.Al Hasyr:7)

[8] (QS.Al-Mauun: 1-7)

KENAPA HIMAS BERAZASKAN ISLAM?

(Sebuah Ikhtiar Kontekstualisasi Islam dalam Pembelaan Terhadap Kaum Mustadhafien)

Oleh Rahmatul Ummah
(Generasi Pertama HIMAS, Menetap di Lampung Kepulauan Sumatera)

Pengantar

Islam sebagai azas HIMAS, memerlukan suatu bentuk penafsiran tertentu baik dalam dimensi ritual maupun sistem kehidupan. Pada perspektif tertentu mengenai Islam tersebut, dapat memberi gambaran tentang kerangka pikir gerakan, mulai dari penjelasan filosofis tentang pentingnya model gerakan dan Islam sebagai azas gerakan serta argumen-argumen yang menjelaskan tujuan, sifat-sifat identitasnya hingga argumen-argumen teknis operasionalnya.

Diharapkan upaya memberikan tafsir ini, menjadi karya intelektual kader HIMAS yang berusaha memaparkan suatu sistem penjelas mengenai pemahaman keislaman dalam berbagai dimensi kehidupan. Sebuah ikhtiar untuk memulai pembangunan paradigma gerakan dengan sebuah pergumulan intelektual yang cukup panjang dalam hal memahami kontekstualisasi ajaran dalam pergerakan Islam. Dengan begitu HIMAS memiliki sebuah tradisi intelektual untuk mempersiapkan paradigma gerakan organisasi sesuai dengan kehendak sejarah, zaman, dan masa depannya.

Arti Penting Ideologi

Ideologi, secara etimologis berarti ilmu tentang gagasan. Mula-mula tidak nampak wajah ekspansif dari kata ideologis itu, kecuali ketika diadopsi menjadi istilah-istilah ilmu sosial. Frans Magnis-Suseno mengutarakan pendapat S.L.C. Destutt de Tracy (1756-1836) yang pertama kali memasukkan istilah ideologi ke dalam khasanah ilmu-ilmu sosial bahwa ideologi adalah ilmu tentang idea-idea atau gagasan menyerap secara revolusioner dan progressif untuk mendobrak sistem-sistem yang beku dalam masyarakat.

Jika ditelusuri, sejarah perkembangan ideologi dari Karl Marx (1818-1883), Vilfredo Valeto (1848-1923), hingga gagasan kritik ideologi oleh Jurgen Habermas dan kawan-kawan dalam mazhab Frankfurt maka ideologi dapat disebut mewakili sistem nilai, moralitas, interperetasi dunia, pandangan dunia, pedoman hidup, pandangan hidup dan semacamnya. Ideologi dengan demikian memiliki kekuatan dogmatis untuk mengikat perilaku individu, sehingga terkadang berkonsekuensi fatal dengan munculnya sejumlah anggapan-anggapan sebagai sesuatu yang mengandung target-target terselubung dari kekuasaan atau kepentingan politik semata.

Dalam pendekatan ‘normatif-idealis’, setiap ideologi dari ajaran-ajaran yang memuat nilai-nilai tertentu, pastilah bukan ajaran yang statis melainkan gerak dinamis dan ekspansif. Artinya, memerlukan wadah guna menyalurkan spirit nilai yang dikandung agar teraktualisasi dalam kehidupan sosial. Perjuangan ideologis, dengan demikian adalah sah untuk tetap bergulir sesuai atau bersamaan dengan usia sejarah umat manusia. Tiap ideologi punya harapan agar kebaikan yang ditawarkannya dapat menjadi pilihan masyarakat.

Dengan demikian, ideologi sangat perting artinya bagi HIMAS dalam membawa arah dan perubahan sebuah masyarakat. Tanpa ideologi, sebuah masyarakat hanya akan menjadi bulan-bulanan dari penguasa, lokal maupun global.

Maka Islam sebagai asas HIMAS memiliki makna sebagai ideologi gerakan, pandangan hidup seluruh kader HIMAS untuk bergerak menuntaskan setiap ketidakadilan dan ketidakbenaran. Maka apapun yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam adalah musuh bersama kader HIMAS, termasuk menentang kemapanan dan perilaku status quo, dan anti perubahan.

Islam sebagai Asas (Ideologi)?

Dalam kajian Thomas F. Wall kaitan konsep worldview dan moralitas sangat jelas. Ia menyatakan: “kepercayaan kepada Tuhan adalah sangat penting dan mungkin elemen terpenting dalam pandangan hidup manapun. Pertama, jika kita percaya bahwa Tuhan itu wujud, maka sangat mungkin kita percaya bahwa di sana ada arti dan tujuan hidup. Dan jika kita konsisten kita akan percaya bahwa sumber moralitas bukanlah sekedar kesepakatan manusia, tapi kehendak Tuhan dan Tuhan adalah nilai tertinggi. Selanjutnya, kita harus percaya bahwa ilmu dapat lebih dari apa yang dapat diamati (empiris) dan di sana terdapat realitas yang lebih tinggi yakni alam supranatural. Sebaliknya jika kita tidak percaya pada Tuhan dan alam itu hanya satu, lalu apa akan kita percaya tentang arti hidup, hakekat diri kita, hidup sesudah mati, sumber standar moralitas, kebebasan dan tanggung jawab dan sebagainya.”

Prinsip ontologi dalam Islam dapat disebut juga sebagai visi metafisis tentang wujud dan realitas tertinggi yang diambil dari wahyu. Wujud Tuhan sebagai realitas tertinggi dalam Islam adalah sentral. Dalam Islam realitas alam fisik yang tampak (sensible world) dipandang sebagai realitas relatif yang berhubungan dan bergantung pada realitas metafisis absolut. Struktur ontologis yang dalam terminologi Islam dikategorikan menjadi ‘alam al-mulk dan ‘alam al- shahadah, menunjukkan bahwa pencarian ilmu dalam Islam tidak sekedar persoalan panca indra dan akal yang analitis yang bidang operasioanalnya dalam sains modern dibatasi oleh realitas alam dan pengalaman inderawi. Ia melibatkan realitas yang tertinggi, sebab hanya dalam konteks realitas inilah maka hakekat dan pentingnya realitas alam nyata ini dapat dipahami. Maka dari itu dalam sains Islam, pengetahuan pragmatis horizontal (diskriptif dan prediktif) tentang realitas alam berada di bawah pengetahuan vertikal kontemplatif dan apresiatif tentang makna kedua alam itu. Ini berarti bahwa bertambahnya ilmu tentang alam semesta membawa pada bertambahnya ilmu tentang alam trasenden dan ini adalah tujuan akhir dari ilmu dalam Islam.

Prinsip kosmologis artinya adalah visi tentang stuktur, proses dan fungsi realitas fenomenal. Dalam prinsip ini alam dilihat sebagai ciptaan yang sejalan dengan Al Qur’an yang tidak diciptakan . Sebab keduanya mempunyai sistem ayat yang integral yang memberi petunjuk kepada manusia tentang Penciptanya. Alam semesta ini adalah kitab yang tak tertulis sedangkan Al qur’an adalah kitab yang tertulis. Dalam hal ini Al Attas menyatakan bahwa “alam dunia ini terdiri dari ayat-ayat Tuhan, yang makna-makna simboliknya diilhamkan kepada manusia dan memberi kesempatan kepada manusia untuk mengamati dan melibatkan dirinya dalam mengetahui aspek realitas ini agar dapat memahami hakekatnya yang tertinggi. Karena susunan dan sistem kebendaan pada alam ciptaan adalah analog dengan susunan dan sistem kata dalam wahyu, maka benda-benda pada dunia empiris harus diperlakukan sebagai kata-kata, sebagai ayat dan simbol yang terdapat dalam jaringan konsep-konsep yang seluruhnya menggambarkan suatu kesatuan organis yang merelekflesikan al Qur’an itu sendiri.

Karena struktur ontologis dan kosmologis Islam yang sedemikian itu maka realitas dan kebenaran dimaknai berdasarkan kajian metafisika terhadap dunia yang nampak (visible world) dan yang tidak tampak (invisible world). Ini berbeda dari pandangan Barat terhadap realitas dan kebenaran yang dibentuk berdasarkan akulmulasi pandangan terhadap kehidupan kultural, tata nilai dan berbagai fenomena sosial. Meskipun, pandangan ini tersusun secara coherence, tapi sejatinya bersifat artifisal.

Pendekatan integral terhadap realitas fisik dengan realitas metafisik, antara ayat-ayat kawniyah dengan ayat-ayat qauliyah, inilah sejatinya framework epistemologi dalam Islam. Dan disinilah sejatinya pandangan hidup Islam terkait secara konseptual dengan epistemologi.

Perbedaan prinsip epistemologi menurut Prof. Naquib al-Attas adalah dalam masalah sumber ilmu pengetahuan. Islam menerima wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan tentang Realitas dan kebenaran tertinggi. Penerimaan ini, yang sudah tentu disertai pada keimanan pada Tuhan, mempengaruhi cara pandang muslim terhadap benda-benda ciptaan dan Penciptanya. Cara pandang inilah yang memberi kita asas bagi framework metafisis yang dapat menjelaskan filsafat sains sebagai sistem integral yang mengambarkan realitas dan kebenaran. Hal ini berarti dalam Islam, ilmu pengetahuan itu berasal dari Allah dan selain melalui media panca indera dan akal yang sehat, ia diperoleh dari berita yang benar dari sumber yang otoritatif dan intuisi. Dengan kata lain epistemologi dalam Islam berkaitan erat dengan struktur metafisika dasar Islam yang telah terformulasikan sejalan wahyu, hadits, akal, pengalaman, dan intuisi.

Jika sumber ilmu pengetahuan dalam Islam adalah dua jenis kitab yaitu wahyu Al Qur’an sebagai kitab tertulis dan alam semesta sebagai kitab tidak tertulis, maka pada keduanya terdapat ayat-ayat yang perlu dipahami dengan metodologi masing-masing. Al-Attas memperkenalkan suatu analogi metodologis antara bahasa wahyu dan bahasa penciptaan dengan ilmu alat yang disebut ta’wil dan tafsir. Seperti halnya kitab Al Qur’an, alam semesta ini juga mempunyai ayat-ayat yang jelas dan pasti (muhkamat) dan ada pula ayat-ayat mutasyabihat (ambigu). Untuk memahami ayat-ayat yang jelas dan pasti dipergunakan metode tafsir, sedangkan untuk memahami ayat-ayat yang ambigu digunakan metode ta’wil. Dalam pandangan Al Attas tafsir bukanlah pemahaman yang final, ia masih memerlukan ta’wil agar makna lebih umum dan lebih tinggi dapat diperoleh.

Jika metode ini diterapkan dalam memahami realitas fisik dan spiritual, maka pemahaman realitas fisik yang bersifat empiris melalui metode tafsir itu dikembangkan dengan metode pemahaman dengan menggunakan metode ta’wil. Jadi metode ta’wil adalah perluasan intensif dari tafsir dan tidak pernah berlawanan, sebab ta’wil harus didasarkan pada tafsir. Yang pasti tafsir adalah syarat bagi ta’wil, jika tafsir terhadap suatu objek itu benar maka ta’wilnya akan benar pula. Penggunaan metode ini menurut Al Attas berkaitan dengan konsep realitas dalam Islam. Realitas memiliki beberapa tingkatan dari realitas yang artinya terbukti dengan sendirinya (self evident) oleh adanya pengalaman langsung indera hingga makna-makna yang abstrak yang meningkat menjadi makna yang tidak dapat diindera kecuali dengan intuisi. Dalam hal ini Al Attas menyatakan:

“… di sana ada sesuatu yang makna sesungguhnya tidak dapat ditangkap oleh intelek; dan mereka memiliki ilmu yang dalam menerima itu semua apa adanya melalui kepercayaan yang kita sebut iman. Ini adalah pandangan yang benar; artinya di sana ada batasan-batasan dalam makna sesuatu dan tempat sesuatu itu terikat secara mendalam dengan batasan kepentingan.”

Islam mengkombinasikan antara metodologi rasionalisme dan empirisisme, tapi dengan tambahan wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan tentang sesuatu yang tidak dapat di jangkau oleh metode empiris-rasional tersebut. Jadi meskipun dalam aspek rasionalitas dan metodologi pencarian ilmu dalam Islam memiliki beberapa kesamaan dengan Barat, namun secara mendasar dibedakan oleh pandangan hidup. Oleh sebab itu metode filsafat Rasionalisme sekuler dan empirisisme filsafat dan sains modern yang merupakan produk pandangan hidup Barat tidak dapat dianggap sama dengan metode filsafat dalam Islam. Perbedaan utamanya terletak pada asumsi dasar keduanya, dan asumsi dasar itu dipengaruhi oleh konsep-konsep kunci dalam pandangan hidup masing-masing seperti misalnya konsep tentang alam, manusia, ilmu, nilai, kehidupan dan sebagainya.

Maka, menjadi sangat logis mencantumkan Islam sebagai asas HIMAS di saat ideologi-idelogi lain yang selama ini dijadikan asas memiliki keterbatasan makna dan kemampuan untuk menjelaskan hal-hal yang diluar inderawi. Padahal di sisi lain kader-kader HIMAS meyakini bahwa pembelaan mereka terhadap kaum mustadhafien, adalah dorongan iman dan ajaran suci Tuhan yang tak terjelaskan oleh ilmu pengetahuan.

Islam Sebagai Nilai Dasar Gerakan HIMAS

Islam sebagai asas HIMAS, harus dipercaya sebagai ideology. Seperti kita ketahui, ideologi dipahami sebagai cara pandang pada hidup kita masing-masing. Tapi menurut mazhab Kiri Baru, ideology adalah konsepsi pemikiran yang melahirkan tindakan yang berhadapan dengan realitas. Jadi, ideology haruslah dapat merubah realitas kehidupan yang tidak sesuai dengan harapan yang terkandung dalam ideology dimaksud. Ini adalah definisi ideology yang akan kita gunakan pada karya ini.

Tafsir asas ini adalah konsepsi tentang ke-Islaman dan realitas masyarakat kepulauan. Nilai-nilai Islam yang absolute dan universal digabungkan dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat pulau yang plural sehingga terlahirlah Nilai Dasar Gerakan HIMAS yang lebih membumi.

Islam sebagai asas dan ideologi gerakan HIMAS coba kita bingkai dengan model pembacaan, filosofis, teologis dan sosiologis.

Filosofis

Ideology dalam pengertian diatas harus memuat konsep, sikap, dan aksi agar bisa berhadapan dengan realitas. Konsep itu sendiri adalah pengetahuan yang menyebabkan tersingkapnya objek oleh subjek dengan seyakin-yakinnya tanpa keragu-raguan. Yang menjadi objek dalam pengertian konsep adalah realitas atau eksistensi, atau kita bisa sebut wujud. Pemahaman atas realitas akan melahirkan sikap, sehingga pada akhirnya akan menentukan aksi yang kita ambil sehubungan dengan realitas yang ada. Aksi, setelah terakumulasi, akan melahirkan peradaban.

Realitas sebenarnya menimbulkan problem yang akhirnya melahirkan pengetahuan yang menjawab problem tersebut. Pengetahuan-pengetahuan yang telah lahir ini kemudian terakumulasi sehingga melahirkan –isme. Karena realitas yang bisa dipecahkan adalah realitas yang inderawi (dan harus bisa dijadikan indrawi), maka sebuah pengetahuan juga harus inderawi. Hal-hal yang tidak indrawi yang selama ini kita anggap pengetahuan sebenarnya adalah konsep pengetahuan.

Realitas itu sendiri ada dua macam; realitas materi dan relitas non-materi. Realitas materi terbagi lagi menjadi dua; empiris (contoh: baju, tubuh, spidol, dll) dan non-empiris (contoh: mimpi). Realitas materi ini menempati ruang dan waktu sehingga sifatnya terbatas sehingga tidak mungkin sempurna. Yang sempurna hanyalah realitas non-materi karena tidak menempati ruang dan waktu. Karena realitas yang dipecahkan oleh pengetahuan hanyalah realitas materi maka pengetahuan pasti terbatas. Produk yang menjadi akumulasi pengetahuan (-isme) juga dengan sendirinya pasti terbatas.

Salah satu ciri penting dari sebuah –isme adalah penggunaan simbol. Orang-orang punk akan menyimbolkan dirinya dengan rambut mohawk dan atribut logam sebagai lambang perlawanan. Para pendukung sosialisme cenderung mengangkat perlawanan petani dan rakyat miskin kota kepada penguasa sebagai simbol eksistensi mereka. Kapitalisme sendiri lebih pandai dalam menyamarkan simbolnya, seperti budaya pop-lifestyle yang telah mendarah daging dalam kehidupan kita.

Pemberian simbol pada sesuatu adalah berarti memberi nilai lebih. Artinya, memberi simbol ”mohawk dan piercing” pada orang-orang yang anti-kemapanan adalah menjustifikasi bahwa pemakai gaya mohawk dan piercing adalah pasti anti-kemapanan, padahal belum berarti seperti itu. Melihat orang yang memperjuangkan orang tertindas sebagai pengusung ideologi sosialisme kadang jadi kebiasaan. Begitu juga tanpa sadar kita telah menjustifikasi orang-orang dengan jilbab besar dan baju koko sebagai ”orang yang sebenarnya Islam” sebenarnya telah menyimbolkan Islam dengan jilbab besar dan baju koko tersebut.

Memberi nilai lebih pada sesuatu yang sebenarnya tidak memiliki nilai itu adalah sesuatu yang melawan kehendak Allah, karena itu adalah pekerjaan Allah dan bukan samasekali pekerjaan kita. Dan melakukan pekerjaan Allah adalah sama saja dengan mengangkat diri sebagai Tuhan !!! bukankah itu adalah kedzaliman yang tak termaafkan? Maka keharusan pertama adalah menegasikan semua kepercayaan dan –isme selain kebenaran.

Teologis

Tuhan itu sendiri, karena sifatnya yang non-materi, selain menjadikan-Nya bebas dari ketidak-sempurnaan, juga mengakibatkan manusia menjadi susah untuk merasakan dan mengikuti keberadaan-Nya. Wahyu kemudian diberikan kepada manusia agar manusia bisa merasakan adanya Tuhan dan tidak menjadi menyimpang dari jalan yang diinginkan Tuhan.

Wahyu ini diberikan kepada manusia melalui manusia pula yang disebut Rasul. Syarat dari Rasul itu sendiri adalah sempurna dalam hal intelektual (yang menjamin mereka terbebas dari sifat lupa) dan spiritual (yang menjamin mereka terbebas dari maksiat). Kedua kesempurnaan ini bukanlah skill yang dapat dilatih, melainkan sesuatu yang given dari Tuhan. Dan oleh karena kedua kesempurnaan ini pula, maka ajaran yang dibawa oleh seorang Rasul juga sempurna secara intelektual dan spiritual. Artinya, ajaran tauhid itu adalah rasional dan bukan historis.

Rasulullah Muhammad SAW juga membawa sebuah sistem yang disebut Islam. Dalam Islam, ada sistem hukum yang terangkum dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an ini adalah kitab yang berisi kumpulan wahyu dari Allah. Tetapi, benarkah bahwa Al-Qur’an itu tak lebih dari hanya kitab saja? Logikanya, karena Rasul diutus untuk ummat manusia yang notabene adalah makhluk sosial maka Al-Qur’an itu seharusnya bersifat sosiologis. Artinya, Al-Qur’an itu berisi kumpulan sejarah, hukum, norma, dan sistem. Tapi bila difahami seperti itu, maka segala hal yang ada dalam Al-Qur’an tidak lebih dari teks sosiologis. Maka tidaklah salah bila kita akan melihat Nabi Yunus sebagai nabi yang pengecut karena tidak mau berdakwah kepada ummatnya, kita akan melihat Nabi Khidir sebagai seorang pembunuh yang sok karena menghukum atas apa yang belum terjadi. Banyak lagi kisah-kisah dalam Al-Qur’an yang bila dipahami tekstual maka akan sangat mengganggu. Jadi sebenarnya Al-Qur’an bukan sekedar teks belaka.

Al-Qur’an memuat wahyu yang notabene berdimensi spiritual, maka sudah seharusnya Al-Qur’an itu juga berdimensi spiritual. Dengan demikian seluruh teks di dalamnya tidak bisa dimaknai secara harfiah saja, karena ada makna transenden dalam kandungannya. Maka dengan sendirinya, seluruh hukum, norma, dan sistem dalam Al-Qur’an adalah juga berdimensi spiritual dan tidak dapat hanya dimaknai harfiah saja.

Diatas telah dikemukakan bahwa seluruh kandungan Al-Qur’an (sejarah, hukum, norma, maupun sistem) adalah memiliki makna transeden. Artinya, setiap kata dalam Al-Qur’an tidak dapat difahami hanya secara tekstual saja, tapi ada makna lain yang jauh lebih dalam daripada teks itu sendiri. Mari kita ambil contoh dari sistem ibadah yang diperintahkan Allah dalam Al-Qur’an. Seorang muslim diwajibkan untuk melaksanakan sholat. Syarat sahnya sholat antara lain adalah pelakunya Islam, baligh, berakal, dan suci dari hadas dan najis.

Islamnya seseorang adalah bukan dengan serta-merta, tapi melalui proses pendidikan yang panjang yang dimulai dari rumah sampai pada sekolah. Maka konsekwensi dari adanya pendidikan Islam agar semua ummat Islam dapat sholat dengan benar adalah pendidikan gratis untuk semua orang! Kemudian, agar pertumbuhan seseorang dapat sampai pada tahap baligh dan berakal, maka kebutuhan nutrisi dan gizinya harus terpenuhi dengan baik. Konsekwensi dari adanya keperluan nutrisi dan gizi untuk dapat melaksanakan sholat dengan baik adalah kepedulian pada petani dan nelayan serta pada orang-orang tertindas lainnya. Begitupun halnya dengan adanya syarat suci yang secara tidak langsung mensyaratkan adanya air untuk semua orang memberi konsekwensi perlawanan pada adanya hegemoni orang-orang kaya atas hal yang satu ini. Karena air dan tanah adalah untuk Rakyat, untuk semua rakyat !!!

Karenanya, Hukum Islam itu adalah wilayah publik, dan tidak ada satu halpun dalam Islam yang memisahkan pemeluknya dari konsekwensi kewajiban sosial. Dari contoh diatas dapat pula kita tarik kesimpulan bahwa penerapan hukum Islam secara kaaffah hanya dapat dilaksanakan bila keadilan sosial dan keadilan ekonomi telah ditegakkan. Dan oleh karena penegakan hukum Islam itu wajib bagi kita semua, maka penegakan keadilan itu juga wajib atas kita semua!

Sosiologis

Mari kita kembali kepada konsep kebenaran yang telah kita bahas pada awal diatas. Telah kita ketahui bahwa konsep kebenaran manusia disandarkan pada konsep-konsep pengetahuan yang tidak sempurna karena berdasar pada realitas materi. Agar konsep-konsep itu dapat selalu berkembang, maka konsepsi kebenaran manusia selalu di-crosscheck-kan dengan manusia lainnya melalui dialog.

Dalam hal ini, manusia memerlukan unit yang disebut masyarakat untuk mengatur hak dan kewajiban agar proses dialog ini dapat berjalan dengan baik. Maka, bermasyarakat merupakan hakekat kemanusiaan. Manusia yang tidak mau bermasyarakat tidaklah pantas disebut manusia. Dalam masyarakat itupun ada satuan yang lebih kecil lagi yang disebut organisasi. Organisasi ini merupakan bentuk paling ideal dari masyarakat karena pertukaran ide-ide didalamnya terjadi secara intens sehingga peluang untuk menghasilkan kebenaran yang lebih baik dari sebelumnya jadi lebih besar. Maka, berorganisasi pun merupakan hakikat kemanusiaan. Manusia yang tidak mau berorganisasi tidaklah pantas disebut manusia.

Telah kita ketahui bersama bahwa ada dua macam organisasi, yaitu organisasi massa dan organisasi kader. Organisasi massa terdiri atas kelompok massa dan kelompok elit. Bentuk gerakan dari organisasi massa adalah adanya mobilisasi. Untuk itu, mereka biasanya menggunakan figur dan kental dengan penggunaan mitos. Singkatnya, hubungan antara elit dan massa adalah melalui manipulasi kesadaran dengan menggunakan figur dan mitos tertentu yang dijaga.

Bentuk kedua dari organisasi ini adalah organisasi kader, yang terdiri dari kelompok yang meng-kader dan yang di-kader. Kegiatan utama dari organisasi ini adalah pengkaderan. Tujuannya adalah pembentukan sistem yang baik. Oleh karenanya, cara yang dilakukan lebih menekankan rasionalitas yang berdasar pada kritisisme. Pada tahap selanjutnya, kritisisme akan melahirkan doktrin yang akan ditaati oleh setiap kader. Organisasi jenis ini biasanya terdapat di kalangan mahasiswa. Tapi sekarang ini ada banyak organisasi yang mengklaim diri sebagai organisasi kader meskipun sebenarnya apa yang telah dilakukan belumlah cukup untuk mencirikan organisasi kader. Sebuah organisasi kader haruslah melakukan transformasi kebenaran, dimana kebenaran itu haruslah absolut dan plural. Dalam hal ini, hanya organisasi yang berdasar Islam (yang merupakan kebenaran absolut) dan menekankan pluralitas-lah yang pantas disebut organisasi kader. Saya tidak faham, apakah HIMAS layak disebut organisasi kader dengan kreteria di atas?????

Penutup

Yang dinamakan tauhid sebenarnya adalah terdiri dari ritual dan sosial yang harus dijalankan bersama-sama. Karena ritual tanpa sosial adalah kebohongan, dan sosial tanpa ritual adalah kekosongan. Untuk menegakkan kalimat Tauhid ini, maka harus ada intelektual organik, yaitu orang-orang yang punya konsep dan ideologi serta sekaligus membasis dengan orang-orang kecil. Manusia harus selalu bergerak, karena pada saat kita berhenti, maka kita sudah membunuh diri sendiri. Dan orang yang berhenti begerak, maka dia telah ”mengambil” takdir Tuhan dan menjadi sekutu-Nya.